Dari Tangan Asni, Ubah Celana Bekas jadi Tas

Untuk harga, Asni menyebut bahwa harg yang merek tawarkan sesuai dengan kerumitan pekerjaan, kisarannya mulai belasan ribu hingga ratusan ribu. Jika berminat dengan hasil karya mereka, anda bisa menghubunginya melalui layanan telepon 08526 6751981‎.

"Pemasaran baru dari mulut kemulut, ada juga dimedia sosial. Meski demikian, produk kami sudah ada yang beli dari Merangin," ungkapnya.

Untuk pemasaran, saat ini karya mereka memang belum banyak dikenal, namun mereka yakin suatu saat mereka bisa berkembang dan besar.

Sementara untuk celana bekas jenis levis dimanfaatkan untuk berbagai jeni‎s tas, seperti tas laptop, tas harian, dompet dan lain sebagainya.

Disini, kata Asni, mereka membuat berbagai karya tangan yang bersal dari bahan bekas, seperti koran. Katanya, koran bekas mereka manfaatkan untuk bikin tempat tisu, past bunga, hiasan dinding dan sebagainya. Begitu juga dengan majalah bekas.

Disampaikan Asni, saat ini anggota kelompok kerajinan ibu rumah tangga Penyengat Olak berjumlah ‎16 orang. Katanya, sedianya kelompok ini berjumlah sekitar 30an orang, namun karena kesibukan rumah tangga termasuk kurangnya restu dari suami, maka sebagian mengundurkan diri."Anggota kita yang mau saja," katanya.

Hadirnya aktifitas ini membuat warna baru bagi mereka, sebab mereka yang tadinya hanya mengandalkan uang pemberian dari suami, kini mereka beransur mulai ada pendapatan sampingan.

"Alhamdulillah, cukup terbantulah," kata Asni, Rabu (14/6).

Menurut Asni, sejak dilatih oleh mentornya yang bernama Wenny Ira, ‎ibu-ibu rumah tangga yang notabene hanya beraktifitas untuk rumah tangga, kini mereka menambah wawasan dengan keterampilan.

Seperti yang disampaikan oleh Asni warga Penyengat olak yang ikut bergabung dengan rombongan ibu rumah tangga binaan sekolah bank sampah.

Dibimbing oleh Sekolah Bank Sampah, ibu rumah tangga ini sangat kreatif, banyak barang yang dimata orang tak begitu berharga, namun dimata mereka sebuah anugrah.

Seperti koran bekas, botol minuman bekas, bahkan celana bekas sekalipun mereka manfaatkan untuk dijdikan kerajinan tangan.

Barang bekas dan sampah tak semuanya masuk ketempat sampah, ‎bila telaten, barang bekas dan sampah akan menjadi uang.

Seperti yang dilakukan oleh belasan ibu rumah tangga yang ada di Penyengat Olak Kabupaten Muaro Jambi.

Setiap hari koran bekas ia kumpulkan dari tempat tinggal para tetangganya.

"Biasanya keliling dulu ke tetangga meminta koran yang sudah tidak dipakai. Kadang beli, harga koran bekas per kilo Rp 6 ribu,” papar dia.

"Sempat ragu, namun setelah salah satu produk kerajinan itu laku, jadi semangat. Produk kempu sebuah alat yang digunakan untuk menaruh bingkisan di saat kondangan upacara pernikahan, kematian dalam agama Hindu terjual pertama kali seharga Rp 100 ribu," ujarnya saat ditemui di kediamannya, Senin (5/6/2017).

Untuk membuat kerajinan itu, ia dibantu oleh istri dan anak-anaknya.

Awalnya, ia sempat ragu dan khawatir hasil produksi kerajinan koran bekasnya itu tidak mendapatkan tanggapan positif dari masyarakat.

Namun tanpa diduga, beragam hasil kerajinan tangan unik khas Bali berbahan baku koran bekas seperti tempat tisu, tempat permen, kotak pensil, bokor hingga tas yang ia buat berhasil menarik perhatian para konsumen.

Berkat barang bekas itu, pria asal Banjar Dinas Kelod Kangin, Desa Bondalem, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng ini mampu menghasilkan pundi-pundi rupiah untuk kelangsungan hidupnya.

Ide Wirjana terjun menekuni kerajinan koran lahir enam bulan lalu, atau lebih tepatnya pada 20 Desember 2016.

Di pelataran rumahnya yang sederhana, kedua tangan Ketut Wirjana (50) tampak lihai menyulap barang bekas menjadi produk kerajinan bernilai ekonomis.

( Baca : Menariknya Produk Olahan Sampah dari Desa Hutan Monyet )

"Jadi untuk Rancage bahkan seringnya di bawah 20%. Itu juga untuk gaji staff operasional lain. Kalau saya sudah cukup dari suami saja," pungkas Nur.

"Produk yang paling murah tempat pensil Rp 10 ribu, dan paling mahal itu hiasan dinding seperti tikar berukuran 6x6 meter seharga Rp 4 juta. Kalau daya tahannya saya belum tahu pasti, tapi ada buyer kami yang bilang kalau bertahan 3 tahun dia mau order lagi, sekarang dia sudah order lagi," tutur Nur.

Saat ini Rancage sudah menghasilkan omzet sekitar Rp 300 juta- Rp 500 juta per tahun atau sekitar Rp 25 juta-Rp 41 juta per bulan. Belum begitu besar memang, namun cukup untuk meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar.

Sejak saat itu, pasar ekspornya pun semakin berkembang. Kini Rancage mampu memproduksi 2 ribu-3 ribu untuk produk berukuran medium dan 5 ribu-7 ribu untuk produk berukuran kecil per bulan. Produk-produk tersebut dikerjakan oleh 90 ibu-ibu yang dia berdayakan dan menghabiskan 500 ton koran bekas per bulan.

Produk-produk yang dihasilkan juga sudah berlimpah. Ada sekitar 200 desain yang telah dilahirkan, mulai dari tempat pensil, meja, kursi, lampu hingga hiasan dinding. Semuanya terbuat dari koran bekas dan bahan tambahan lainnya yang mampu bertahan cukup lama.

"Jadi kita juga ekspor pertama kali co-branding dengan Javara. Kami dibantu, jadi banyak produk Javara yang menggunakan packaging Rancage, tapi brand-nya terpampang dua. Itu diekspor ke Italia dan beberapa negara lainnya," kata Nur.

Dari situ, dia mulai menjajal untuk mencari buyer sendiri dari luar negeri. Nur mendapatkan buyer pertama sebuah perusahaan olive oil dari Amerika Serikat (AS). Rancage diminta untuk membuatkan packaging untuk produknya.

Awal mulanya Nur mengikuti pelatihan eksportir yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan. Dari situ dia mendapatkan ilmu tentang regulasi dan penetapan harga untuk pasar ekspor. Kebetulan juga Nur mendapatkan mentor Helianti Hilman, seorang eksportir ternama pemilik Javara produk bahan makanan organik Indonesia yang sudah mendunia.

Dari situ mulai banyak perusahaan yang order. Sekarang sudah ada sekitar 15 perusahaan yang order ke kita," imbuhnya.

Roda bisnis Rancage pun bergulir semakin kencang. Di tahun keempat Rancage mulai merambah pasar mancanegara.

"Kita ingin impact-nya besar, mau tidak mau skala ordernya juga harus besar. Karena semakin banyak ibu-ibu yang bergabung, semakin besar juga kapasitas produksinya," imbuhnya.

Memasuki tahun ketiga, akhirnya Rancage mulai menarik perhatian sebuah perusahaan. Perusahaan tersebut melakukan orderan dalam skala besar sebagai souvenir untuk perhelatan ulang tahun korporasi.

Tahun kedua dia juga masih rajin ikut pameran. Dia memang sengaja tidak terlalu banyak menjual produknya secara eceran melalui toko ataupun online. Sebab menurutnya dengan semakin besar orderan yang masuk semakin besar ibu-ibu yang bisa diberdayakan.

"Jadi pembuktian ke masyarakat ini yang susah. Dari 6 orang di akhir tahun sisa 2 orang. Mereka keluar dengan berbagai alasan juga, ada yang pindah sampai karena keluarga," kenangnya.

Namun saat itu Nur sudah mulai rajin ikut pameran-pameran produk kerajinan tangan. Saat itu produk-produk Rancage belum begitu bervariatif, hanya seperti tempat pensil, keranjang dan lain-lain.

Tahun pertama juga menjadi tahun yang paling sulit bagi Nur untuk mengembangkan Rancage. Awal mulanya dia mampu mengajak sekitar 6 orang ibu-ibu. Namun saat itu banyak ibu-ibu yang belum percaya bahwa bisnis sosial itu akan dijalankan secara serius.

Proses riset yang dilakukan pada 2012 itu sebenarnya tidak mudah. Membutuhkan waktu selama 1 tahun bagi Nur dan timnya untuk menemukan teknik pelintingan koran dan jenis coating-nya sebagai bahan pendukungnya. Bahkan dari modal awal hampir Rp 10 juta, sebagian besar dihabiskan untuk proses riset tersebut.

Untuk modal Rp 10 juta, Nur mengaku mendapatkannya dalam program garage sell yang dia lakukan bersama dengan orangtua murid Sekolah Alam Bogor. Saat itu para orangtua murid diajak berpartisipasi untuk menjual barang-barang yang sudah tidak terpakai.

"Sampahnya kita riset, ada sekitar 11 jenis sampah yang kami riset. Ternyata bahan koran yang marketable yang cukup diapresiasi. Bahan-bahan lainnya banyak tapi akhrnya mengerucut ke koran," terang Nur.

Kepada detikFinance, Nur menjelaskan awal mula dia dan rekannya mendirikan Rancage ketika melihat kehidupan masyarakat sekitar Sekolah Alam Bogor tempatnya bernaung. Dia melihat banyak ibu-ibu yang hidupnya pas-pasan yang sulit mencari pekerjaan untuk membantu suaminya.

Kebetulan saat itu dia juga tengah menjalankan program bank sampah, di mana para siswa Sekolah Alam Bogor diminta untuk mengumpulkan sampah-sampah. Nah karena melimpahnya sampah, Nur terbesit untuk membuat sebuah kerajinan berbahan sampah.

Meski jumlahnya masih sedikit, namun mulai banyak orang-orang yang memilih menjadi social entrepreneur, salah satunya Aling Nur Naluri. Namanya sudah cukup dikenal sebagai salah satu founder dari Rancage, produk kerajinan tangan yang terbuat dari koran bekas.

harga goody bag